Selasa, 08 September 2009

Penanganan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Pokok-pokok Kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Siregar, 2001).
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002).
Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan serta jiwa (Said dan Ineza, 2002).
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu (Giyatmi. 2003) :
• Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.
• Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
• Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
• Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi (Barlin, 1995).
1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar terhadap lingkungan (Agustiani dkk, 1998).
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana dkk, 2003) :
• Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
• Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi menerima limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam gedung selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis maupun non medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut (Sabayang dkk, 1996).
1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk (Said, 1999).
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :
a. Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.

1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah (waste reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source reduction) (Hananto, 1999).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :
1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.
Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :
1. Pemisahan limbah
• Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
• Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
• Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
2. Penyimpanan limbah
• Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
• Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
• Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang samatelah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
• Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
• Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
• Kantung dipegang pada lehernya
• Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut
• Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
• Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang salah
• Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding dengan limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar (Agustiani dkk, 2000) :
• Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
• Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.
• Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman padao gen (khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari rumah sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti dan Sulaiman, 2001).
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko, 2001) :
• Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
• Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
• Tambahkan lapisan kapur.
• Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
• Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.
1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).
1.7. Teknologi Pengolahan Limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin dkk, 2002).
Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh (Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United States Environmental Protection Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).
1.7.1. Ozonisasi
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik dan industri (Akers, 1993).
1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper, 1986).
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan (Harper, 1986).
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke sungai (Harper, 1986).
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara dicuci (Wilson, 1986).
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau hidrogen peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas (Wilson, 1986).
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986).

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani E, Slamet A, Winarni D (1998). Penambahan PAC pada proses lumpur aktif untuk pengolahan air limbah rumah sakit: laporan penelitian. Surabaya: Fakultas Teknik IndustriInstitut Teknologi Sepuluh Nopember
Agustiani E, Slamet A, Rahayu DW (2000). Penambahan powdered activated carbon (PAC) pada proses lumpur aktif untuk pengolahan air limbah rumah sakit. Majalah IPTEK: jurnal ilmu pengetahuan alam dan teknologi : 11 (1): 30-8
Akers (1993). Paperboard hospital waste container. United States Patent : 5,240,176 Arthono A (2000). Perencanaan pengolahan limbah cair untuk rumah sakit dengan metode lumpur aktif. Media ISTA : 3 (2) 2000: 15-8 Barlin (1995). Analisis dan evaluasi hukum tentang pencemaran akibat limbah rumah sakit Jakarta :Badan Pembinaan Hukum Nasional
Berlanga B (1998). Process, formula and installation for the treatment and sterilization of biological, solid, liquid, ferrous metallic, non-ferrous metallic, toxic and dangerous hospitalwaste material. United States Patent : 5,820,541
Christiani (2002). Pemanfaatan substrat padat untuk imobilisasi sel lumpur aktif pada pengolahan limbah cair rumah sakit. Buletin Keslingmas
Djoko S (2001). Pengelolaan limbah rumah sakit. Sipil Soepra : jurnal sipil 3(8): 91-9
Giyatmi (2003). Efektivitas pengolahan limbah cair rumah sakitDokter Sardjito Yogyakarta terhadap pencemaran radioaktif. Yogyakarta : Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada
Hananto WM (1999). Mikroorganisme patogen limbah cair rumah sakitdan dampak kesehatan yang ditimbulkannya. Bul Keslingmas : 18 (70) 1999: 37-44
Harper (1986). Hospital waste disposal system. United States Patent : 4,619,409
Haryanto (2001). Analisis senyawa-senyawa kimia limbah cair rumah sakit Kodya Jambi. Percikan : 31 (Mei): 54-9
Karmana O, Nurzaman M, Sanusi S (2003). Pengaruh limbah padat rumah sakit hasil insinerasi dan pupuk NPK bagi pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus sp) var. Gitihijau : laporan penelitian. Bandung : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Padjadjaran
Rostiyanti SF, Sulaiman F (2001). Studi pemeliharaan bangunan pengolahan air limbah dan incinerator pada rumah sakit di Jakarta. Jurnal Kajian Teknologi : 3 (2): 113-23
Said NI (1999). Teknologi pengolahan air limbah rumah sakitdengan sistem "biofilter anaerob-aerob". Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah II: prosiding, Jakarta, 16-7 Feb 1999.
Said dan Ineza (2002). Uji performance pengolahan air limbah rumah sakit dengan proses biofilter tercelup. Jakarta : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan
Sabayang P, Muljadi, Budi P (1996). Konstruksi dan evaluasi insinerator untuk limbah padat rumah sakit. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan Shahib MN (1999) Penerapan teknik "Polymerase chain Reaction" (PCR) untuk memonitor pencemaran lingkungan oleh senyawa merkuri (Hg) pada limbahcair rumah sakit. Kongres Himpunan Toksikologi Indonesia: prosiding, Jakarta, 22-23 Feb 1999 Shahib MN, Djustiana N (1998). Profil DNA plasmid E. coli yang diisolasi dari limbah cair rumah sakit. Majalah Kedokteran Bandung : 30 (1) 1998: 328-41
Siregar TM (2001). Pengaruh penambahan inokulum pada pengolahan limbah cair rumah sakit: studi kasus pengolahan limbah cair RSUD Pasar Rebo, Jakarta menggunakan M-bio pada reaktor fixed-film aerobic. Jakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Sundana EJ (2000). Hospital waste minimization in Indonesia case studi: Muhammadiyah Bandung General Hospital (RSMB). Jurnal Itenas : 4 (1): 43-9
Suparmin, Tri C, Budiono Z (2002). Studi evaluasi pengolahan air limbah rumah sakit diPropinsi Jateng tahun 2002. Buletin Keslingmas
Wilson (1986). Hospital waste disposal system. United States Patent : 4,618,103
Sumber : http://www.klinikmedis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7:pencegahan-penanganan-pengolahan-limbah-rumah-sakit&catid=1:latest-news





Green Industry
Tuesday, 10 February 2009 21:14

Incinerator Sampah
Meskipun banyak kota atau kabupaten memiliki cara pengolahan sampah, tetapi modelnya tidak banyak berbeda. Hampir di setiap daerah menerapkan model yang paling sederhana dan dirasakan cukup aman. Alasannya cukup masuk akal yaitu anggaran APBD tidak seyogyanya diinvestasikan untuk hal yang konsumtif. Bila tidak dirasakan dampak negatif terhadap lingkungan maka model pengolahan sampah tersebut bisa saja dilanjutkan. Namun, bila dampak negatif sudah dirasakan maka mulai harus dipikirkan mencari model baru yang lebih efisien dan aman.
A. Model Pengelolaan Sampah di Indonesia
Model pengolahan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa saja dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau estetika. Model ini umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.
Pengolahan sampah yang kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan pembakaran ekses gas metan (flare). Model yang lengkap ini telah memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan di kota-kota besar. Namun, sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengolah air buangan. Meskipun demikian, ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif. Berikut ini beberapa model pengolahan sampah di beberapa kota di Jawa.
1. DKI Jakarta (Bantar Gebang)
Pengolahan sampah DKI Jakarta di Bantar Gebang telah didirikan sejak tahun 1986. Lokasi lahan di Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membayar tipping fee kepada Pemda Bekasi sebesar Rp 60 juta per ton sampah. TPA Bantar Gebang dikelola dengan penerapan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS (Instalasi Pengolahan Air Sampah) dan sistem drainage. Sistem drainage ini untuk menampung air buangan atau lindi hitam (leachate) ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat.
Sistem IPAS menggunakan activated sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agitator (pengaduk bertenaga besar). Operasional IPAS dan kebersihan drainage perlu dikontrol dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat tentang kualitas air buangan. Demikian juga jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihan dari tetesan air yang keluar dari truk dan sampah yang berserakan sepanjang jalan tersebut. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta muncul¬nya penyakit yang berhubungan dengan kesehatan kulit dan paru-¬paru. Namun, pada kenyataannya, pada tahun 2005 penduduk di sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang.
Pembakaran gas metan juga dilakukan pada beberapa timbunan meskipun tidak tertata baik. Pemisahan material anorganik dilakukan oleh pemulung yang jumlahnya puluhan orang serta sudah merupakan kegiatan sosial-ekonomi tersendiri dan melibatkan bisnis yang nilainya cukup besar. Meskipun model ini sangat minimal, tetapi terbukti efektif dan telah menolong masyarakat DKI Jakarta dalam mengatasi masalah sampah.
Permasalahan sampah di DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang sudah tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas provinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi hanya akan memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan akan ada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.
2. Surabaya (Sukolilo)
Model TPA di Surabaya persis sama dengan DKI Jakarta. Sekitar tahun 1980-an TPA Sukolilo diprotes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan beberapa tahun. Namun, hal ini tidak bisa diabaikan karena masalah sosial bagian dari masalah sampah kota. Sebagai jalan keluar, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selanjutnya mengimpor 1 (satu) unit incinerator (pembakar) sampah dari Inggris. Ternyata, alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat.
Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi (>80%) sehingga sebagian besar energi yang digunakan untuk membakar (minyak residu) adalah untuk menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi. Solusinya adalah TPA dipin¬dahkan lokasinya ke daerah pantai di wilayah kabupaten Sidoardjo. Masalah yang mungkin timbul di TPA baru ini adalah salinitas yang bisa menghambat efektivitas kerja mikroba. Selain itu, air buangan (leachate) dari sampah akan mengotori perairan/perikanan karena jaraknya yang terlalu dekat. Semua kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan teknologi asal memungkinkan biayanya. Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi.
3. Solo (Mojosongo)
Pengolahan sampah di Kota Solo perlu dibahas secara khusus karena cukup menarik. Model pengolahan adalah cara tumpukan seperti di daerah lain. Kelebihannya adalah sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian dijual. Dengan cara ini ada sistem input dan sistem output sehingga luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena output berupa kompos selalu keluar dari areal tersebut.
Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan yang cukup besar. Selain itu, sistem tersebut berhasil memacu tumbuh-kembangnya pertanian organik di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas secara liar di areal TPA untuk mencari makanan sendiri. Sapi-sapi ini pada pagi hari keluar sendiri dan pada waktu magrib masuk kembali ke kandangnya masing-masing. Berdasarkan penelitian dari WHO, temyata susu, tidak tercemar oleh kotoran yang berasal dari sampah. Jumlah sapi pada tahun 1995 mencapai 1.000 ekor. Sapi tersebut menghasilkan susu dan daging bagi penduduk sekitar yang tadinya adalah para pemulung.
Pada awal pembangunan TPA, penduduk yang tinggal di pinggir sebelah kiri dan kanan jalan menuju TPA adalah pemulung yang diimpor dari daerah lain. Pemulung tersebut diberikan gubuk sederhana (settlement) oleh pemda setempat. Kini gubuk-gubuk tersebut telah berubah menjadi rumah bata dan hampir setiap rumah memiliki motor. Anak-anaknya pun disekolahkan di perguruan tinggi. Setiap pagi hari, berpuluh-puluh truk parkir di sepanjang jalan menuju TPA melakukan transaksi bisnis jual-beli material selain sampah, seperti kertas/karton, besi, plastik, kaleng, dan aluminium. Model ini ternyata bisa dijadikan contoh cara pengelolaan sampah yang berhasil karena terasa manfaatnya bagi masyarakat tingkat rendah, di samping juga dapat mengatasi masalah lingkungan.
4. Daerah lainnya
Di beberapa kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan memiliki topografi lembah dan pegunungan seperti di Kota Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, sampahnya dibuang ke lembah. Cara tersebut juga dianut pada kota lainya di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup efektif dan murah.
Di Jogyakarta, pengolahan sampah dilakukan dengan cara tumpukan dan dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal (mesin) yang dikelola oleh pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara profesional. Di Malang, TPA cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang secara modern dengan mengambil lokasi di suatu lembah. Di Bogor, terutama TPA di daerah Gunung Galuga, Leuwiliang, juga menggunakan cara tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukan waktu cukup lama untuk pembusukannya. Model incinerator yang diimpor dari Perancis pernah dicoba, tetapi akhimya kembali gagal seperti di Surabaya. Di Bandung kasusnya sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar, di samping cuaca yang sangat dingin sehingga pembusukan berjalan sangat lambat.
B. Model Pengelolaan Sampah Luar Negeri
Di tahun terakhir, telah ada suatu aturan tentang prakarsa manajemen sampah padat yang dilakukan oleh negara-negara Eropa, Australia, Austria, Selandia Baru, dan Jepang. Sebagai contoh, pemerintah Jepang sedang bekerja ke arah suatu target pengurangan timbunan sampah sebanyak 75%. Sebagian besar fokus dari program ini pada 3R (reduce, recyle, dan re-use).
Umumnya pengelolaan sampah di luar negeri, khususnya Eropa, sudah dimulai di rumah tangga, yaitu dengan memisahkan sampah organik dan anorganik. Kantong sampah terbuat dari bahan yang bisa didaur ulang. Warna kantong dibedakan antara sampah organik dan anorganik. Kantong sampah organik biasanya berwarna hijau, sedangkan kantong sampah anorganik berwarna cokelat. Adapun kantong sampah barang merah. Selain di lokasi perumahan, pemerintah setempat juga menyediakan tempat sampah di lokasi strategis untuk tempat buangan sampah di lokasi umum. Konstruksi tempat sampah sedemikian rupa sehingga mudah diangkut oleh truk sekaligus bersama tempat sampahnya ke lokasi pengolahan.
Sampah organik diambil oleh truk yang memiliki drum berputar dilengkapi pisau pencacah dan mikroba perombak bahan organik. Dengan cara ini pencampuran dapat dilakukan secara efisien dan merata karena volume sampah tidak begitu besar serta drum tersebut berputar dengan konstan. Kadang truk tersebut fungsinya hanya mengangkut, sedang pencacahan sampah dilakukan di tempat pengolahan.
Setelah sampah di lokasi pengolahan, sampah dituangkan ke dalam tempat penampungan, lalu diangkut oleh conveyor untuk dipisahkan dari material anorganik (besi). Pemisahannya menggunakan magnetic separator. Sementara pemisahan material ringan seperti kertas, plastik, dan kain dengan menggunakan teknik sentrifugal/tromol berputar. Material yang berat selain besi seperti gelas atau potongan kayu dipisahkan dengan menggunakan hembusan udara (air classifier). Selanjutnya, sampah diangkut ke ruang pengolahan (komposting). Material anorganik yang masih bisa didaur ulang dipisahkan, sedangkan yang tidak bisa didaur ulang dibakar menggunakan incinerator.
Cara pengolahan sampah organik pada dasarnya ada 2 macam, yaitu menggunakan model reaktor dan non-reaktor (di tempat terbuka atau hanya bagian atas tertutup atap).
Model nonreaktor yaitu sebagai berikut:
1. Agitated solid bed (windrow), baik yang diberi aerasi atau tidak diberi aerasi.
2. Static soil bed, baik yang diberi aerasi atau aerasi alami.
Model reaktor yaitu sebagai berikut:
1. Rotating drum, jenisnya terdiri dari disperse flow, cells in series, dan complete mix.
2. Bin reactor, jenisnya terdiri dari rectangular tankage dan inclined flow reactor.
Mdel-model tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri dan tidak akan dibahas secara detil, kecuali model windrow. Model windrow mirip model tumpukan. Sebelum unit pengolah sampah dibangun, terlebih dahulu telah dibuat negosiasi dengan perusahaan pertanian atau perkebunan yang akan menyerap produk kompos sampah kota yang dihasilkan. Dengan demikian, areal untuk proses komposting tidak tersita oleh produk kompos yang tidak terjual. Selain itu, adanya pendapatan yang diterima kegiatan tersebut.
Selain cara pengolahan sampah yang berbeda dan variatif di Eropa, komposisi sampahnya juga berbeda. Hal ini disebabkan pola makan yang berbeda sehingga ketersediaan barang di pasar pun berbeda. Secara umum komposisi sampah di Eropa mirip dengan sampah yang berasal dari pasar swalayan. Adapun contoh komposisi sampah di Eropa, terutama Belgia, dan nilai kalor kandungnya dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Sampah Organik dan Nilai Kalornya di Eropa
No Jenis Sampah Persentase (%) Nilai Kalor (MJ/Kg) Total Kalor (MJ/ton)
1. Sampah daun 17 5,7 969
2. Sampah sayur dan buah 43 14,2 6.106
3. Kertas 3 15,6 468
4. Tekstil 5 36,8 1.840
5. Kotoran 12 6,9 828
6. Macam-macam 2 18,1 362
7. Total nilai kalor 82 10.573
Berdasarkan Tabel 3, komponen sampah organik sekitar 82%. Dari persentase tersebut ada yang mudah terurai (83%) dan sulit terurai (17%). Kadar air di Eropa berkisar 15-30%. Berbeda dengan sampah kota di Indonesia yang kadar airnya 70-80%. Tinggi kadar air tersebut akan menyulitkan di dalam proses pengolahannya. Adapun secara teoritis total nilai kalor yang diperoleh dari 1 ton sampah yang dibakar yaitu sebesar 10.573 MJ.
Berbeda dengan Eropa, Malaysia dan Brunei masih mencari cara untuk mengatasi masalah pengelolaan sampah. Buktinya, kedua negara tersebut akan mengimpor alat composter buatan Bandung. Pengelolaan sampah di Malaysia dengan landfill, bahkan di hampir di seluruh Malaysia menggunakan open dumping. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pengelolaan sampah di Indonesia. Sementara pengelolaan sampah Singapura memiliki manajemen yang rapi dan diolah dengan teknologi tinggi yang dimanfaatkan untuk membuat pulau. Di negara tersebut memiliki sistem pembakaran sampah dengan teknologi sistem kontrol digital di lokasi tertutup. Dengan pembakaran tersebut, diperoleh panas untuk menggerakkan turbin dan pembangkit listrik. Tempat pembakaran hanya mengonsumsi 20% dari energi listrik yang dihasilkan dari sisanya (80%) dijual.
Artikel Ditulis oleh LTP
Sumber Artikel : Buku Mengelola Sampah Kota karangan Prof.Dr.Ir.H.R Sudradjat, MSc.
Sampah Medis dan Pengelolaannya
November 8, 2007 oleh bushido02
Menurut Depkes Republik Indonesia berbagai jenis buangan yang dihasilkan rumah sakit dan unit-unit pelayanan kesehatan yang mana dapat membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehataan bagi pengunjung , masyarakat terutama petugas yang menanganinya disebut sebagai limbah klinis.
Limbah klinis berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinary, farmasi atau yang sejenisnya serta limbah ayng dihasilkan rumah sakit pada saat dilakukan perawatan, pengobatan atau penelitian. Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya limbah klinis dapat digolongkan dalam limbah benda tajam, infeksius, jaringan tubuh, citotoksik, farmasi, kimia, radio aktif dan limbah plastik
a. Limbah Benda Tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit. Misalnya : jarum hipodermik, perlengkapan intervena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Selain itu meliputi benda-benda tajam yang terbuang yang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif
b. Limbah Infeksius
Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular serta limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik, ruang perawatan dan ruang isolasi penyakit menular. Yang termasuk limbah jenis ini antara lain : sampah mikrobiologis, produk sarah manusia, benda tajam, bangkai binatang terkontaminasi, bagian tubuh, sprei, limbah raung isolasi, limbah pembedahan, limbah unit dialisis dan peralatan terkontaminasi ( medical waste ).
c. Limbah Jaringan Tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan autopsi. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator.
d. Limbah Jaringan Tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan autopsi. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator.
e. Limbah Citotoksik
Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik. Limbah yang terdapat limbah citotoksik didalamnya harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas 1000oc
f. Limbah Farmasi
Limbah farmasi berasal dari : obat-obatan kadaluwarsa, obat-obatan yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien, obat-obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak diperlukan dan limbah hasil produksi obat-obatan.
g. Limbah Kimia
Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia juga meliputi limbah farmasi dan limbah citotoksik
h. Limbah Radio Aktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionucleida. Asal limbah ini antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bakteriologis yang daapt berupa padat, cair dan gas.
i. Limbah Plastik
Limbah plastik adalah bahan plastik yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain seperti barang-barang dissposable yang terbuat dari plastik dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan medis.
Pengelolaan Sampah Medis
Pengelolaan sampah medis akan memiliki penerapan pelaksanaan yang berbeda-beda antar fasilitas-fasilitas kesehatan, yang umumnya terdiri dari penimbulan, penampungan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan.
a. Penimbulan ( Pemisahan Dan Pengurangan )
Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan : kelancaran penanganan dan penampungan sampah, pengurangan volume dengan perlakuan pemisahan limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
b. Penampungan
Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam Permenkes RI no. 986/Men.Kes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna ungu dengan simbol citotoksik untuk limbah citotoksik, kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan “domestik”
c. Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai yang sudah diberi label, dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ketempat pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor.
d. Pengolahan dan Pembuangan
Metoda yang digunakan untuk megolah dan membuang sampah medis tergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan dengan peraturan yang berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap masyarakat. Teknik pengolahan sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah :
Incinerasi
Sterilisasi dengan uap C)panas/ autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu 121
Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau formaldehyde)
 Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia sebagai desinfektan)
Inaktivasi suhu tinggi
Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti Co60
Microwave treatment
Grinding dan shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran sampah)
Pemampatan/ pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang terbentuk
Incinerator
Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila incinerator akan digunakan di rumah sakit antara lain : ukuran, desain, kapasitas yang disesuaikan dengan volume sampah medis yang akan dibakar dan disesuaikan pula dengan pengaturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi yang berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah dalam kompleks rumah sakit dan jalur pembuangan abu, serta perangkap untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran.
Keuntungan menggunakan incinerator adalah dapat mengurangi volume sampah, dapat membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3 (toksik menjadi non toksik, infeksius menjadi non infeksius), lahan yang dibutuhkan relatif tidak luas, pengoperasinnya tidak tergantung pada iklim, dan residu abu dapat digunakan untuk mengisi tanah yang rendah.
Sedangkan kerugiannya adalah tidak semua jenis sampah dapt dimusnahkan terutama sampah dari logam dan botol, serta dapat menimbulkan pencemaran udara bila tidak dilengkapi dengan pollution control berupa cyclon (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu).
Hasil pembakaran berupa residu serta abu dikeluarkan dari incinerator dan ditimbun dilahan yang rendah. Sedangkan gas/pertikulat dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda